Ini adalah
kisah sebuah keluarga sakinah generasi Tabi’in senior di kota Bashrah. Sang
bapak bernama Shilah bin Ashyam Al-Adawi. Sang ibu bernama Mua’dzah binti
Abdullah Al-Adawiyah. Sang anak bernama Shahba’. Keluarga itu dikenal sebagai
keluarga Abu Shahba’ atau Abu Sya’tsa’, keluarga ulama, orang shalih, zuhud,
ahli ibadah dan mujahid.
Ulama hadits
dan sejarawan Islam, imam Adz-Dzahabi menulis, “Seorang yang zuhud, ahli
ibadah, tokoh teladan, Abu Shahba’ Al-Adawi Al-Bashri, suami dari ulama wanita
Mu’adzah Al-Adawiyah.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 3/497)
Imam
Adz-Dzahabi juga menulis, “Tokoh wanita, ulama wanita, Ummu Shahba’ Al-Adawiyah
Al-Bashriyah, ahli ibadah, istri dari tokoh dan suri teladan: Shilah bin
Ashyam.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/508)
Ketika pasukan
Islam diberangkatkan ke medan jihad Sijistan, perbatasan Iran-Afghanistan,
Shilah dan anaknya turut serta. Pasukan Islam harus menghadapi pasukan musyrik
bangsa Turki yang datang dari Asia Tengah dan telah memasuki negeri
Khurasan.
Al-’Alla’ bin
Hilal menuturkan: “Seorang laki-laki dalam barisan pasukan Islam bercerita
kepada Shilah: “Wahai Abu Sahba’, tadi malam aku bermimpi. Dalam mimpiku, aku
meraih satu syahid dan engkau meraih dua syahid.”
Mendengar
ucapan orang tersebut, Shilah mengatakan: “Jika begitu, engkau akan gugur
sebagai syahid, juga aku dan anakku.”
Saat itu
pasukan Islam dipimpin oleh komandan Yazid bin Ziyad. Di wilayah Sijistan,
pasukan besar bangsa musyrik Turki menyerang pasukan Islam. Pertempuran
berlangsung dengan sengit. Karena kekuatan yang tidak seimbang, pada sore
harinya pasukan Islam terdesak dan dipukul mundur ke posisi semula.
Untuk
sementara suasana tenang karena pasukan Islam mundur ke perkemahan mereka dan
pasukan Turki juga kembali ke perkemahan mereka. Masing-masing pihak
bersiap-siap untuk menerjuni kancah peperangan yang akan menentukan kekalahan
atau kemenangan mereka.
Dalam suasana
persiapan itulah, Shilah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, kembalilah
engkau kepada ibumu!”
Mendengar
nasehat ayahnya tersebut, sang anak justru menjawab dengan penuh percaya diri
dan keimanan, “Wahai ayah, apakah engkau sendiri yang menginginkan kebaikan?
Kenapa engkau menyuruhku pulang?!”
Melihat tekad
anaknya telah bulat untuk bertempur sampai meraih kemenangan atau gugur sebagai
seorang syahid, Shilah merasa gembira.
Keesokan
harinya, kedua pasukan kembali berhadapan untuk menerjuni kancah pertempuran
penentuan. Genderang perang telah ditabuh dan terdengar pekik takbir kaum
muslimin membahana. Dengan keberanian yang luar biasa, kedua belah pihak saling
menyerang.
Dalam suasana
itulah, Shilah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, majulah dengan gagah
berani!”
Tanpa menunggu
perintah kedua kalinya, sang anak menghambur ke arah pasukan musuh. Ia
bertempur dengan gagah berani. Pedangnya membabat ke kanan dan ke kiri, menebas
dan menusuk setiap musuh yang dihadapinya. Tak lama kemudian ia telah berada
dalam kepungan musuh. Beberapa prajurit Turki mengerbutinya, hingga ia
terdesak, kewalahan dan roboh bersimbah darah. Sang anak gugur sebagai syahid.
Shilah segera
menyusul anaknya dan menghambur ke arah pasukan musuh. Ia memperlihatkan
keberanian dan ketangkasan yang luar biasa. Seperti para prajurit Islam yang
lain, Shilah tidak membiarkan setiap musuh yang muncul di hadapannya.
Shilah dikenal
sebagai seorang pemanah ulung. Tak dibiarkannya pasukan musuh mencincang jasad
anaknya. Kerumunan prajurit musuh yang menewaskan anaknya dirobohkannya dengan
seluruh anak panahnya. Ia segera meraih jasad anaknya dan mendoakannya. Setelah
itu ia menghunuskan pedangnya dan menyerbu ke tengah kerumuman musuh. Pada
akhirnya, ia pun roboh, gugur bersimbah darah dan meraih syahid yang
dicita-citakannya.
Seusai perang,
komandan Yazid bin Ziyad mengirim utusan pembawa berita kepada gubernur di
Basrah. Nama para prajurit Islam yang gugur segera diumumkan dan diberitahukan
kepada keluarganya. Hari itu, Ummu Shahba’ Mu’adzah Al-Adawiyah menerima berita
kesyahidan suami dan anaknya tercinta.
Para wanita
muslimah di kampungnya segera berdatangan ke rumah Ummu Shahba’ untuk
mengucapkan bela sungkawa. Sungguh luar biasa, walau telah kehilangan
orang-orang yang paling dicintainya, Ummu Shahba’ tidak larut dalam kesedihan
dan derai air mata.
Tsabit
Al-Bunani mengisahkan peristiwa tersebut. Katanya, “Shilah dan anaknya berada
dalam satu pertempuran. Shilah berkata, “Wahai anakku, majulah bertempur sampai
engkau syahid, aku akan mengharapkan pahalanya di sisi Allah!”
Anaknya segera
maju bertempur melawan musuh sampai gugur. Maka Shilah segera menyusul. Ia
bertempur dengan hebat sampai gugur.
Kaum wanita di
desanya berkumpul di rumah istrinya, Mua’adzah, untuk berbela sungkawa. Melihat
kehadiran mereka, Mua’adzah berkata:
مَرْحَباً إِنْ كُنْتُنَّ جِئْتُنَّ لِتُهَنِّئْنَنِي،
وَإِنْ كُنْتُنَّ جِئْتُنَّ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَارْجِعْنَ
“Selamat datang, jika kalian datang ke sini untuk mengucapkan
selamat kepadaku. Namun jika kalian datang untuk selain itu (berbela sungkawa),
sebaiknya kalian pulang saja!”
Subhanallah!
Betapa kuat kesabaran Ummu Shahba’ atas musibah yang dialaminya. Ia begitu rela
dengan takdir yang Allah Ta’ala tetapkan. Baginya, gugurnya suami dan anak
tercinta bukan lagi sebuah musibah, melainkan karunia, prestasi, dan kehormatan
bagi keluarga. Sebuah karunia yang begitu berharga dan hanya diberikan Allah
Ta’ala kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya.
Dari Miqdam
bin Ma’di Karib Al-Kindi radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ سِتَّ
خِصَالٍ: أَنْ يُغْفَرَ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ
مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ، وَيُزَوَّجَ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ،
وَيُجَارَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنَ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ وَيُوضَعَ
عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ، الْيَاقُوتَةُ مِنْهُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا
فِيهَا، وَيُزَوَّجَ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ زَوْجَةً مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعَ
فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Orang yang
mati syahid meraih enam kemuliaan di sisi Allah; 1) semua dosanya diampuni pada
tetesan darahnya yang pertama, 2) diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga
kelak, dikenakan kepadanya perhiasan keimanan dan akan dinikahkan dengan
bidadari surga, 3) dilindungi dari azab kubur dan aman dari ketakutan paling
besar pada hari kiamat, 4) dikenakan di atas kepalanya mahkota kemuliaan, yang
satu batu mutiara yaqqut padanya lebih berharga dari dunia dan seluruh isinya,
5)dinikahkan dengan 72 bidadari surga dan 6) diberi hak untuk memberi syafa’at
bagi 70 orang kerabatnya.” (HR. Tirmidzi no. 1663, Ibnu Majah no. 2799, Ahmad
no. 17182, Abdur Razzaq no. 9559, dan Said bin Manshur no. 2562. Hadits
shahih)
Mua’dzah
Al-Adawiyah menghabiskan sisa usianya dengan tekun beribadah kepada Allah
Ta’ala. Diriwayatkan bahwa ia menghidupkan waktu malamnya dengan shalat malam.
Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Ibnu Hibban menulis, “Ia adalah salah
seorang wanita ahli ibadah. Dikatakan bahwa ia tidak pernah tidur malam di atas
bantal sejak gugurnya Abu Shahba, sampai ia wafat.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani,
Tahdzib At-Tahdzib, 12/452)
Ia senantiasa
berharap dikumpulkan oleh Allah Ta’ala dengan suami dan anaknya di surga
Firdaus yang tertinggi. Katanya,
وَاللهِ مَا أُحِبُّ البَقَاءَ إِلاَّ لأَتَقَرَّبَ
إِلَى رَبِّي بِالوَسَائِلِ، لَعَلَّهُ يَجْمَعُ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي الشَّعْثَاءِ
وَابْنِهِ فِي الجَنَّةِ
“Demi Allah, aku tidak senang hidup lebih lama kecuali untuk
mendekatkan diri kepada Rabbku dengan amal-amal ibadah sebagai wasilah, semoga
Rabbku mengumpulkan aku dengan Abu Sya’tsa’ dan anaknya di surga.”
Peperangan
pasukan Islam melawan pasukan bangsa musyrik Turki di Sijistan terjadi pada
tahun 62 H, seperti dicatat oleh para pakar sejarah Islam.
Referensi:
Syamsuddin
Muhammad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 3/497-500 dan
4/508-509, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H
No comments:
Post a Comment