Wednesday, August 21, 2013

SYARAT UKHUWAH ISLAMIYAH

Ukhuwah  karena  Allah memiliki  syarat-syarat  dan  dasar-dasar yang  menjadikan  ikatan  ukhuwah tersebut menjadi tertib. Tidak akan diterima di sisi Allah  kecuali bila kaum muslimin mengikuti syarat-syarat tersebut  dan melakukannya  dengan sebaik-baiknya.

1.  Ukhuwah harus murni karena Allah
Tidak  mungkin  ukhuwah  terbentuk  kecuali  jika  orang-orang  yang  saling  bersaudara  itu membersihkan diri dan memurnikan diri  dari  segala  bentuk  manfaat yang  bersifat  pribadi. Manakala itu terjadi, ukhuwah akan mengeluarkan buahnya  serta berdampak positif di masyarakat.  Di antara  dalil  yang menunjukkan betapa daruratnya rasa ikhlas dalam berukhuwah adalah hadits riwayat Muslim.  Yaitu tentang seorang  lelaki ketika  dalam  perjalanan  mengunjungi saudaranya  di  sebuah desa,  dia ditanya oleh malaikat.
Dari Abu Hurairah RA  Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda,  “Ada  seorang  laki-laki  mengunjungi  saudaranya  yang tinggal  di  desa  lain,  maka  Allah mengutus  satu  malaikat  untuk menemuinya. Tatkala bertemu dengan lelaki  tersebut  malaikat  bertanya, “Hendak  ke  manakah  saudara?” Lelaki  tersebut  menjawab,  “Saya ingin mengunjungi  saudaraku  di  desa ini.”  Malaikat  kembali  bertanya, “Apakah  anda  menziarahinya  karena ada  sesuatu  kenikmatan  yang  ingin anda  dapatkan?”  (maksudnya,  apakah kamu  punya  tujuan  tertentu  yang kamu  berusaha  untuk  meraihnya?  –edt.)  Lelaki  tersebut  menjawab, “Tidak,  saya melakukan kunjungan  ini semata-mata  karena  kecintaan  saya terhadapnya  karena  Allah”.  Malaikat kemudian  berkata,  “Sesungguhnya saya diutus Allah untuk menemui anda untuk menyampaikan  bahwa  Allah mencintai  anda  sebagaimana  anda mencintai saudara anda karena-Nya”.”
2.  Ukhuwah harus dikaitkan dengan iman dan takwa
Hal  tersebut  tidak  akan  berlaku  kecuali seorang  muslim  memilih  sahabatnya dari kalangan orang-orang mukmin dan yang paling tulus dan bertakwa. Di antara dalil yang menunjukkan  hal  itu  adalah  firman Allah  dalam surat Al Hujurat : 10:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya  orang-orang beriman  itu  bersaudara.  Sebab  itu damaikanlah  (perbaikilah  hubungan) antara  kedua  saudaramu  itu  dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dan  firman  Allah  dalam  surat  Az  Zukhruf : 67:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman  akrab  pada  hari itu  sebagiannya  menjadi  musuh  bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”
Abu  Daud meriwayatkan  dari  Abu Sa’id al-Khudri dari  Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda:
لا تُصَاحِبْ إلا مُؤْمِناً ، وَلا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إلا تَقِيٌّ
“Janganlah  bersahabat  kecuali dengan  orang mukmin  dan  janganlah memakan  makananmu  kecuali  orang yang  bertakwa.”  (Hadits  hasan.  Al-Misykah, 5018)
Abu  Daud  dan  Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ ، فَليَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang  itu  tergantung kepada  dien  sahabat  dekatnya,  maka hendaklah  kalian  memperhatikan
dengan siapa kalian berteman dekat.” (Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”)
Apabila ukhuwah  dapat seperti itu, maka ia akan  menjadi  lebih  kokoh  daripada gunung  yang  menjulang  tinggi  dan lebih kuat dari gedung pencakar langit. Bahkan  ukhuwah  semacam  itu  tidak akan  terguncang  dengan  berbagai peristiwa yang  terjadi dan  tidak akan pudar  ikatannya  dengan  kejadian-kejadian  yang  muncul  sepanjang waktu.
3.  Ukhuwah harus berdasarkan manhaj Islam
Ukhuwah  tidak  akan  mungkin seperti itu  sehingga orang-orang yang saling  bersaudara  itu  ber-mu’ahadah (saling  mengambil  janji)  untuk berhukum  dengan  syariat  Allah. Dan  kembali kepada  petunjuk Muhammad Shallalahu ‘alaihi wassalam dalam  segala  keadaan.
Dalam  persoalan  ini  Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam telah mengisyaratkan dalam haditsnya:
رجلان  تحابا في الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه
“Dua  orang  yang  saling mencintai  karena  Allah,  bersatu karena  Allah  dan  berpisah  karena
Allah.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Maksudnya  adalah  ber-mu’ahadah dalam  keadaan  mereka  bersatu  atas dasar  syariat  Allah  dan ber-mu’ahadah dalam keadaan mereka berpisah  untuk  mengamalkan  syariat Allah.  Untuk  kepentingan  ini  semua, dahulu dua orang sahabat Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam jika berjumpa mereka tidak akan berpisah hingga  salah  seorang  dari  mereka membacakan  untuk  saudaranya  surat Al-‘Ashr kemudian mengucapkan salam kepadanya.
Maksud dari hal ini adalah bahwa keduanya ber-mu’ahadah untuk teguh  di  atas  manhaj  Islam,  di  atas iman  dan  amal  saleh  serta  di  atas kewajiban  saling  menasihati  dengan al-haq  dan  saling menasihati  dengan kesabaran.   Dan juga  ber-mu’ahadah  bahwa keduanya  adalah bagian dari umat ini yang tegak di atas dien ini.
Semoga Allah merahmati Al  Imam Asy-Syafi’i  rahimahullah yang  mendalam pemahamannya dan cermat  analisanya. Beliau berkata, “Kalaulah tidak diturunkan  dari  Al-Qur’an  itu  kecuali surat Al-‘Ashr sungguh akan mencukupi manusia.” Apabila ukhuwah itu seperti ini,  maka  masing-masing  dari  orang- orang  yang  bersaudara  itu  menjadi mushaf  yang  berjalan  di  atas  bumi dalam  perilakunya,  akhlaknya,  dan muamalahnya.  Karena  mereka beriltizam dengan manhaj Al-Qur’an dan prinsip-prinsip  Islam  dalam  kehidupannya. Hal  itu  dikarenakan  Islam merupakan keyakinan  dengan hati,  penetapan dengan  lisan,  dan  beramal  dengan anggota badan.
4.  Ukhuwah harus tegak di atas nasihat untuk Allah
Ukhuwah  tidak mungkin  seperti  itu sampai  seorang  ikhwah  itu  menjadi cermin  bagi  saudaranya  seiman.  Jika salah  seorang  dari  keduanya  melihat  yang  lain  dalam  kebaikan,  maka  ia mendorongnya  dan  memintanya meningkatkan  kebaikan  tersebut. Dan  apabila  dia  melihat  kekurangan atau  cacat,  ia  menasihatinya  secara tertutup  dan  memintanya  untuk bertaubat  kepada  Allah  serta  kembali kepada petunjuk dan dienul haq. Dalam ukhuwah semacam ini ada saling tolong menolong yang agung dalam melakukan berbagai keutamaan dan membersihkan diri  dari  hal-hal  yang  hina  serta  upaya yang cepat untuk menjadi pribadi yang bersaudara  di  atas  dasar  Islam  dan timbangan syariat.
Nasihat  yang  murni  semacam  ini dituturkan Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam saat membaiat para  sahabatnya.  Yaitu agar mereka menjadi para  penyeru  kebenaran  di  tengah-tengah  masyarakatnya,  pemberi petunjuk  kepada  kebaikan  dan  menjadi tokoh dakwah  di  mana  pun  mereka  berada dan ke mana pun mereka pergi.
Imam  Bukhari  dan  Muslim meriwayatkan  dari  Jarir  bin  Abdillah  ia  berkata,  “Saya  membaiat Rasulullah  untuk  menegakkan shalat, membayar,  zakat  dan memberi nasihat kepada setiap muslim.”
Bahkan  kita  dapati  Nabi  mengharuskan  setiap  mukmin  untuk menjadi  orang  yang  memberi  nasihat untuk  Allah,  untuk  kitab-Nya,  untuk Rasul-Nya  dan  untuk  para  pemimpin muslimin  dan  rakyatnya.  Imam  Muslim telah  meriwayatkan  dari  Nabi  Shallalahu ‘alaihi wassalam, beliau  bersabda,  “Dien  itu  nasihat.” Kami  bertanya,  “Untuk  siapa  wahai Rasulullah?”  Beliau  menjawab, “Untuk  Allah,  kitab-Nya,  Rasul-Nya, para  pemimpin  kaum  muslimin  dan masyarakatnya”.”
Maksud nasihat untuk Allah  adalah  beriman  kepada-Nya  dan mensucikan-Nya  dari  segala  sesuatu yang  tidak  layak  untuk  diri-Nya  dan menaati-Nya. Nasihat untuk kitab-Nya adalah  membacanya  dengan  tilawah yang  sebaik-baiknya,  mengamalkan hukumnya,  dan  mengimani  hal-hal yang  bersifat  mutasyabihat  yang  ada di  dalamnya.  Nasihat  untuk  Rasul-Nya adalah  beriman  kepadanya,  beriltizam dengan  sunnahnya,  melaksanakan perintahnya  dan  menjauhi  larangannya. Nasihat untuk para pemimpin muslimin adalah  menasihatinya  bila  melakukan kesalahan  dan  menaatinya  secara makruf.  Nasihat  untuk  masyarakat muslim  adalah  mengupayakan kemaslahatan  untuk  mereka  dan menjauhkan  madharat  dari  mereka, memerintah mereka kepada yang makruf dan melarang mereka dari kemungkaran.
Akan  tetapi,  apa  yang  harus dilakukan apabila saudara kita  itu tidak mau menerima nasihat?
Ketika  nasihat  dan  peringatan itu  tidak  bermanfaat  lagi  dalam mencegah  kemungkaran  yang  terus dilakukannya,   atau  kemaksiatan  yang terus dia jalani,  maka kewajiban  seorang  muslim  adalah kembali kepada hajr (menjauhi) karena Allah  sampai  dia  kembali  kepada kebenaran dan   bersikap  lurus. Jika dia tetap  terus  melakukan kefasikannya, tetap  cuek  dengan  penyimpangannya dan  sulit diharapkan kebaikannya, maka wajib  untuk meng-hajr-nya terus menerus. Dan hajr ini merupakan ikatan iman yang kuat.
Berikut  ini  adalah  nash-nash  yang menetapkan keabsahan melakukan hajr:
Imam  Ath  Thabrani  meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:
أوثق عرى الإيمان الموالاة في الله والمعاداة في الله والحب في الله والبغض في الله عز وجل
“Ikatan  iman  yang  paling  kuat adalah  berwali  karena  Allah    dan memusuhi  karena  Allah.  Cinta  karena Allah dan benci karena Allah.”
Imam  Al  Bukhari – dalam  bab tentang  bolehnya  hajr  terhadap  orang yang melakukan maksiat – meriwayatkan, “Berkata Ka’ab  ketika  tertinggal dari  Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam dalam  perang  Tabuk, “Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam  melarang  berbicara  dengan kami dan beliau menyebut 50 malam.”
Sehingga  bumi  terasa  sempit  bagi mereka padahal bumi itu luas dan jiwa mereka  juga  merasa  sempit  namun tidak  seorangpun  yang  bicara  dengan mereka  atau  mengucapkan  salam kepada mereka atau menemani mereka sampai Allah ta’ala menurunkan  dalam kitab-Nya taubat untuk mereka.
Telah  shahih  riwayat  yang menetapkan  bahwa  Nabi  Shallalahu ‘alaihi wassalam menerapkan  hajr  kepada  istri-istrinya selama  sebulan  penuh  sebagai  sanksi dan  pendidikan  buat  mereka  karena telah menyelisihi syariat.
5.  Ukhuwah harus tegak di atas sikap saling menolong dalam keadaan sempit dan lapang
Tidak  akan  mungkin  ukhuwah akan  semacam  itu  kecuali  bila salah  seorang  dari  mereka  ikut merasakan  kegembiraan  saudara-saudaranya  jika  mereka  bergembira dan  bersedih  jika  mereka  bersedih. Islam menjadikan  saling  tolong menolong di antara kaum muslimin saat sempit maupun lapang menjadi  perkara  yang  mesti  dilakukan dan  hak  yang  harus  dipenuhi,  bahkan menjadi tuntutan dan kewajiban bagi mereka. Hal itu dikarenakan orang-orang yang  saling  bersaudara  karena  Allah telah ber-mu’ahadah untuk mengiltizami manhaj  Islam,  baik  dalam  perkataan maupun perbuatan. Dengan tujuan melaksanakan syariat Allah secara global maupun rinci, melaksanakan tuntutan-tuntutan dien ini secara menyeluruh  dan  agar dapat sejalan dengan manhaj  Allah  dalam  amal dan perilakunya.
Sebagai misal,  sesungguhnya  ketika Islam berkata,
“Dan  tolong-menolonglah  kamu dalam  (mengerjakan)  kebajikan  dan takwa..”
“Tidak  beriman  salah  seorang di antara  kalian  sampai  dia  mencintai bagi  saudaranya    apa  yang  dia  cintai bagi dirinya  sendiri.”  (HR. Bukhari dan Muslim)
“Seorang  muslim  adalah saudara  muslim  yang  lain,  dia tidak  menzaliminya,  dan  tidak menyerahkannya  (kepada  musuh). Barang siapa  memenuhi  kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya  dan  barang siapa menghilangkan  satu  kesulitan  dari seorang muslim maka  (dengan  hal  itu) Allah akan menghilangkan satu kesulitan dari  sekian  kesulitan  pada  hari  kiamat dan  barang siapa menutupi  aib  seorang muslim  maka  Allah  akan  menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Maka  orang-orang  yang  saling bersaudara  karena  Allah  lebih  layak untuk masuk  dalam  khithab  ini. Hal ini karena mereka  lebih  tertuntut  daripada  yang lainnya  dalam  menerapkan  prinsip-prinsip  syariat  dan  berpegang  teguh dengan aturan Islam. Wallahu a’lam.

No comments: