Belakangan
ini sering kita membaca atau mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?”, “Kalau
memang itu baik/benar mengapa Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya
?”, “Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan
sahabatnya pernah melakukannya ?” dan lain sebagainya.
Hal
ini paling sering diucapkan oleh harakah/sekelompok umat Islam dalam memvonis
amaliah seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari
besar Islam, bermazhab, dan amalan lainnya. Untuk memahami lebih dalam tentang
masalah ini, sangat penting kita menyelami lebih dalam tentang ilmu ushul fiqh kaitannya
dengan “At-Tark dan Tauqif”.
AT TARK
Pertanyaannya adalah
apakah “At Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan
sesuatu” itu merupakan suatu hukum baru ? Bisakah “At Tark” itu
dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ?
Ataukah “At Tark” itu dianggap harakah/sekelompok umat Islam hanya
sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah dhalalah, yang semua tempatnya
neraka ?
Mari kita bahas
bersama bagaimana sebenarnya kedudukan “At Tark” ini. “At Tark”
yang kita pahami sebagai amaliah yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh
Rasulullah” tidak secara langsung menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau
sering disebut oleh harakah/sekelompok umat Islam “Bid’ah (Dhalalah)”.
Hal ini bisa kita
buktikan dari banyak sudut pandang, yaitu :
1. Dari
sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
- Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan).
Contoh :
ولا تقربوا الزن
(Jangan kalian dekati zina)
- Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
Contoh :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ
(Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
- Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
Contoh :
من غش فليس منا
(Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Dari ketiga dasar ushul fiqh
tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
2. Nash Qur’an
menyebutkan :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7
Disini jelas nash
Qur’an menggunakan lafadz “Naha”
(dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak pernah dilakukan).
3. Dalil
dari Hadits menyebutkan :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari Muslim)
Disini Rasulullah juga tidak
mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas sudah
bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan tidak bisa secara
otomatis menghukumi sesuatu itu makruh atau haram. Hal ini berbeda dengan
qaidah yang baru dibuat oleh harakah/sekelompok umat Islam yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA
ILAIHI
Berikutnya adalah
sering kita baca atau dengar kalimat:
لَوْ كَانَ
خَيْرًا مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
“Lau kaana
khairan maa sabaquunaa ilaihi” Yang diartikan secara asal-asalan oleh harakah/sekelompok
umat Islam: “Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah
mendahului kita mengamalkannya”.
Adakah kalimat itu dijadikan
dasar hukum ? ataukah ada sumber dari Ushul Fiqh ?
Dengan tegas harus
kita jawab tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai
halal/haram ataupun bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui
kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut
adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk
Islam. Dengan jelas dalam
hal ini tidak bisa digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya
yang santer juga diucapkan oleh harakah/sekelompok umat Islam yaitu “Asal
Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut
ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul
Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam
Kitab Ushul Fiqh :
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعا وهي
قاعدة معروفة عند أهل العلم، أن الأصل في العبادات التوقيف كما أن الأصل في
المعاملات والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا ونافعة للإنسان، فبالنسبة
للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو
فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحد أن يتصرف في شأن
الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو تقديما أو تأخيرا أو غير ذلك،
ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل،
بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا
نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا، والعصر أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين،
ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله
عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات،
فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن
الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن
الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن موجودا
في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه ربا ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم
ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ نقول: هذا العقد مباح؛
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا
يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو
يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم
ترد، مثل أن يقول مثلا
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس
العبادة مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلا، مثل من يتعبدون
بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا، فهذه بدعة
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد
عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلا- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو
وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة،
فإنه لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير
ذلك
Dijelaskan selanjutnya tauqif itu mengikuti :
1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف في صفة العبادة)
Dicontohkan dalam penjelasannya : “tidak
boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk
sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف في زمن العبادة)
Dicontohkan dalam penjelasannya : “tidak
boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak
memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف في نوع العبادة)
Dicontohkan dalam penjelasannya : “tidak sah
bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah
matahari atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “
misalkan ini semua bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف في مكان العباد)
Dicontohkan dalam penjelasannya :
“jika
seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau
bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah
sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang
sudah disyari’atkan oleh syari’.
Jadi dari
penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan
sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji,
Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Maka jelas disini
dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah hal ini tidak boleh dikurangi,
ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang
jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu
Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum
mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah. Maka secara umum
dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid,
artinya “Hukum untuk perantara sama dengan
hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya
contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan
kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid (tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah
untuk berzina itu wasail (perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada
dalilnya, tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah
muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan
Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah
Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang
memperingati maulid (menurut pendapat sebagian ulama) adalah wasailnya. Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil
dalam Ibadah Ghairu Mahdhah.
Maka jelas apa
yang tidak dilakukan Rasulullah bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”.
Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ
سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ
فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment