Secara etimologi, qunût berakar dari kata
qanata yang berarti merendahkan diri pada Allah . Bisa juga berarti berdoa,
baik berdoa dengan kebaikan atau keburukan. Sedangkan secara terminologi, qunût
berarti sebuah zikir tertentu yang dibaca pada waktu tertentu pula.
Ulama berbeda pendapat tentang bentuk redaksi
qunût. Ada yang mengatakan bahwa redaksi qunût itu hanya tertentu dengan bacaan
yang ma’tsûr (diriwayatkan) dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, dan ada
yang mengatakan sebaliknya. Sedangkan manyoritas ulama fikih berpendapat bahwa
qunût tidak tertentu dengan yang ma’tsûr dari Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam,
qunût juga bisa dengan membaca redaksi lain yang mengandung doa seperti
qunût-nya Sayidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu.
Redaksi qunût yang disebutkan dalam kitab-kitab
fikih dapat diklasifikasikan menjadi dua macam.
Pertama, qunût yang ma’tsûr dari Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yaitu Redaksi ini diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dari Sayyidina al-Hasan bin Ali.
Kedua, qunût yang pernah dibaca oleh Sayidina
Umar Radhiyallâhu ‘anhu, yaitu:
اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ
فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ
وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ اِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَايُقْضَى عَلَيْكَ وَاِنَّهُ لَا
يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَا
لَيْت
Di dalam qunût yang ma’tsûr dari Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam, disunnahkan melanjutkannya dengan membaca tsanâ’
(pujian) terhadap Allah Subhânahu wa ta‘âlâ dan dilanjutkan dengan membaca
salawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam seperti yang sudah
lumrah dilakukan di kalangan masyarakat.
Di dalam pelaksanaannya, qunût tidak boleh
dibaca terlalu panjang seperti halnya pelaksanaan tahiyat pertama dan akan
menimbulkan hukum makruh bila dilaksanakan dengan terlalu panjang. Tapi, ketika
seseorang membaca qunût, dan dalam qunût tersebut dia menggabungkan antara
qunût yang ma’tsûr dari Nabi dengan qunût-nya sayyidina Umar Radhiyallâhu
‘anhu, maka qunût tersebut tidak dihukumi makruh. Qunût tersebut tetap dihukumi
sunah bagi orang yang salat sendirian, atau bagi seorang imam yang makmumnya
sedikit, sedangkan mereka rela dengan bacaan imamnya yang dipanjangkan.
Sedangkan tata cara membaca qunût itu sendiri,
apabila yang membaca adalah orang yang salat sendirian, maka bacaan qunût harus
dibaca secara pelan. Dan bagi seorang imam, bacaan qunût boleh dibaca pelan dan
boleh dibaca keras. Sedangkan bagi makmum, apabila imamnya membaca dengan
keras, maka dia membaca “amin”, dan apabila imamnya membaca dengan pelan, maka
dia boleh memilih antara membaca qunût sendiri atau diam. Tapi menurut pendapat
yang lebih sahih (qaul ashah), apabila bacaan imam berupa do’a, maka makmum
harus memaca “amin”, dan bila berupa tsanâ (pujian), maka makmum boleh memilih
antara membaca tsanâ seperti halnya imam atau diam.
Dari sisi lain, qunût juga bisa dibagi menjadi
dua, yaitu : qunût râtib dan qunût nâzilah. Qunût râtib adalah qunût yang
dilaksanakan pada waktu salat subuh dan di rakaat terakhir salat witir
diseparuh kedua bulan Ramadhan.
Qunût râtib ini termasuk diantara sunnah
ab’adh-nya salat, bila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan sujud sahwi.
Meninggalkan sebagian dari qunût râtib ini sama halnya dengan meninggalkan
kesemuanya qunut. Jadi, orang yang tidak membaca qunût ini dengan sempurna,
atau mengganti sebagian kalimat dengan kalimat yang lain, seperti mengganti
huruf “ fî “ dengan “ma’a” dalam lafadz “fî man hadaita”, maka orang tersebut
sama halnya dengan tidak mengerjakannya sama sekali dan disunnahkan baginya
untuk mengganti qunût tersebut dengan sujud sahwi. Sama dengan permasalahan
diatas yaitu, bila ada orang yang membaca sebagian qunût, lalu melanjutkannya
dengan qunût yang lain yang tidak sama dengan qunût yang pertama, seperti
membaca sebagian qunut yang ma’sur dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam lalu
melanjutkannya dengan sebagian qunutnya Sayyidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu, maka
orang tersebut juga disunnahkan menggantinya dengan sujud sahwi, karna orang
tersebut tidak membaca satu qûnut-pun dengan sempurna.
Sedangkan yang dinamakan qunût nâzilah adalah
qunût yang dilaksanakan karna ada bencana yang menyusahkan umat islam, seperti
terjadi badai, kebakaran, murtadnya mayoritas umat islam atau negara islam
sedang diserang musuh. Maka, apabila ada kejadian seperti itu, disunnahkan bagi
umat islam yang lain untuk qunût setelah ruku’ di rakaat yang terakhir dalam
semua salat maktûbah (salat fardlu) untuk mendo’akan orang muslim yang lain
yang tertimpa musibah.
Qunût nâzilah ini pernah dilakukan oleh Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam selama satu bulan untuk mendo’akan para sahabat
yang terbunuh dalam peristiwa sumur mu’nah. Jadi, hukum mengerjakan qunût ini
adalah sunnah ketika ada musibah yang menimpa umat islam dengan dasar mengikuti
langkah perbuatan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam.
Dalam kesunnahan qunût nâzilah ini, apabila
lupa tidak dikerjakan atau satu kalimat diganti dengan kalimat yang lain, maka
tidak disunnahkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi, karna kesunnahan qunût
nâzilah ini adalah dzâtiyah dari qunût itu sendiri, tanpa ada sangkut pautnya
dengan salat yang dikerjakan.
Untuk lafal-lafal yang digunakan dalam qunût
nâzilah ini, sama dengan lafadz-lafadz yang digunakan didalam qunût râtib.
Tapi, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa lafadz-lafadz qunût nâzilah
lebih baik disesuaikan dengan peristiwa yang menimpa kaum muslimin dan ini
lebib baik dari pada membaca qunut yang biasa dibaca dalam qunût râtib. Jadi,
apabila kejadian yang menimpa kaum muslimin berupa bencana gempa bumi, maka,
sebaiknya para korban dido’akan dengan doa-doa yang dapat meringankan
penderitaan mereka.
Referensi :
* Hâsyiah al-Baijuri li Syaikh
Ibrahim al-Baijuri, vol. 1 hal.312-314
* Raudlah at-Thâlibîn, vol.1 hal.253-254
* Nihâyah al-Muhtâj, vol.2 hal. 67
* Mughni al-Muhtâj, vol.1 hal. 168
No comments:
Post a Comment