Ukhuwah karena
Allah memiliki syarat-syarat dan dasar-dasar yang
menjadikan ikatan ukhuwah tersebut menjadi tertib. Tidak akan
diterima di sisi Allah kecuali bila kaum muslimin mengikuti syarat-syarat
tersebut dan melakukannya dengan sebaik-baiknya.
1. Ukhuwah harus murni
karena Allah
Tidak mungkin
ukhuwah terbentuk kecuali jika orang-orang
yang saling bersaudara itu membersihkan diri dan memurnikan
diri dari segala bentuk manfaat yang
bersifat pribadi. Manakala itu terjadi, ukhuwah akan mengeluarkan
buahnya serta berdampak positif di masyarakat. Di antara
dalil yang menunjukkan betapa daruratnya rasa ikhlas dalam berukhuwah
adalah hadits riwayat Muslim. Yaitu tentang seorang lelaki ketika
dalam perjalanan mengunjungi saudaranya di sebuah
desa, dia ditanya oleh malaikat.
Dari Abu Hurairah RA
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Ada seorang
laki-laki mengunjungi saudaranya yang tinggal di
desa lain, maka Allah mengutus satu malaikat
untuk menemuinya. Tatkala bertemu dengan lelaki tersebut
malaikat bertanya, “Hendak ke manakah saudara?”
Lelaki tersebut menjawab, “Saya ingin mengunjungi
saudaraku di desa ini.” Malaikat kembali
bertanya, “Apakah anda menziarahinya karena ada sesuatu
kenikmatan yang ingin anda dapatkan?” (maksudnya,
apakah kamu punya tujuan tertentu yang kamu
berusaha untuk meraihnya? –edt.) Lelaki
tersebut menjawab, “Tidak, saya melakukan kunjungan ini
semata-mata karena kecintaan saya terhadapnya
karena Allah”. Malaikat kemudian berkata, “Sesungguhnya
saya diutus Allah untuk menemui anda untuk menyampaikan bahwa Allah
mencintai anda sebagaimana anda mencintai saudara anda
karena-Nya”.”
2. Ukhuwah harus
dikaitkan dengan iman dan takwa
Hal tersebut
tidak akan berlaku kecuali seorang muslim
memilih sahabatnya dari kalangan orang-orang mukmin dan yang paling tulus
dan bertakwa. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah
firman Allah dalam surat Al Hujurat : 10:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dan firman
Allah dalam surat Az Zukhruf : 67:
الْأَخِلَّاءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab
pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi
sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”
Abu Daud
meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi Shallalahu
‘alaihi wassalam, beliau bersabda:
لا
تُصَاحِبْ إلا مُؤْمِناً ، وَلا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إلا تَقِيٌّ
“Janganlah
bersahabat kecuali dengan orang mukmin dan janganlah
memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”
(Hadits hasan. Al-Misykah, 5018)
Abu Daud dan
Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi
Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:
الرَّجُلُ
عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ ، فَليَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu
tergantung kepada dien sahabat dekatnya, maka
hendaklah kalian memperhatikan
dengan siapa kalian berteman dekat.” (Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”)
dengan siapa kalian berteman dekat.” (Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”)
Apabila ukhuwah dapat
seperti itu, maka ia akan menjadi lebih kokoh daripada
gunung yang menjulang tinggi dan lebih kuat dari gedung
pencakar langit. Bahkan ukhuwah semacam itu tidak
akan terguncang dengan berbagai peristiwa yang terjadi
dan tidak akan pudar ikatannya dengan
kejadian-kejadian yang muncul sepanjang waktu.
3. Ukhuwah harus
berdasarkan manhaj Islam
Ukhuwah tidak
akan mungkin seperti itu sehingga orang-orang yang saling
bersaudara itu ber-mu’ahadah (saling mengambil
janji) untuk berhukum dengan syariat Allah. Dan
kembali kepada petunjuk Muhammad Shallalahu ‘alaihi wassalam dalam
segala keadaan.
Dalam persoalan
ini Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam telah mengisyaratkan dalam
haditsnya:
رجلان
تحابا في الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه
“Dua orang
yang saling mencintai karena Allah, bersatu
karena Allah dan berpisah karena
Allah.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Allah.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Maksudnya adalah
ber-mu’ahadah dalam keadaan mereka bersatu atas
dasar syariat Allah dan ber-mu’ahadah dalam keadaan mereka
berpisah untuk mengamalkan syariat Allah. Untuk
kepentingan ini semua, dahulu dua orang sahabat Nabi Shallalahu
‘alaihi wassalam jika berjumpa mereka tidak akan berpisah hingga
salah seorang dari mereka membacakan untuk
saudaranya surat Al-‘Ashr kemudian mengucapkan salam kepadanya.
Maksud dari hal ini adalah bahwa keduanya ber-mu’ahadah untuk teguh
di atas manhaj Islam, di atas iman
dan amal saleh serta di atas kewajiban
saling menasihati dengan al-haq dan saling menasihati
dengan kesabaran. Dan juga ber-mu’ahadah bahwa
keduanya adalah bagian dari umat ini yang tegak di atas dien ini.
Semoga Allah merahmati Al
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang mendalam pemahamannya dan
cermat analisanya. Beliau berkata, “Kalaulah tidak diturunkan
dari Al-Qur’an itu kecuali surat Al-‘Ashr sungguh akan
mencukupi manusia.” Apabila ukhuwah itu seperti ini, maka
masing-masing dari orang- orang yang bersaudara
itu menjadi mushaf yang berjalan di atas
bumi dalam perilakunya, akhlaknya, dan muamalahnya.
Karena mereka beriltizam dengan manhaj Al-Qur’an dan
prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya. Hal itu
dikarenakan Islam merupakan keyakinan dengan hati, penetapan
dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan.
4. Ukhuwah harus tegak di
atas nasihat untuk Allah
Ukhuwah tidak
mungkin seperti itu sampai seorang ikhwah
itu menjadi cermin bagi saudaranya seiman. Jika
salah seorang dari keduanya melihat yang
lain dalam kebaikan, maka ia mendorongnya
dan memintanya meningkatkan kebaikan tersebut. Dan
apabila dia melihat kekurangan atau cacat,
ia menasihatinya secara tertutup dan memintanya untuk bertaubat kepada
Allah serta kembali kepada petunjuk dan dienul haq. Dalam ukhuwah semacam ini ada saling tolong menolong yang agung dalam melakukan
berbagai keutamaan dan membersihkan diri dari hal-hal
yang hina serta upaya yang cepat untuk menjadi pribadi yang
bersaudara di atas dasar Islam dan timbangan
syariat.
Nasihat yang
murni semacam ini dituturkan Nabi Shallalahu ‘alaihi wassalam saat
membaiat para sahabatnya. Yaitu agar mereka menjadi para
penyeru kebenaran di tengah-tengah masyarakatnya,
pemberi petunjuk kepada kebaikan dan menjadi tokoh
dakwah di mana pun mereka berada dan ke mana pun
mereka pergi.
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Jarir bin
Abdillah ia berkata, “Saya membaiat Rasulullah
untuk menegakkan shalat, membayar, zakat dan memberi nasihat
kepada setiap muslim.”
Bahkan kita
dapati Nabi mengharuskan setiap mukmin untuk
menjadi orang yang memberi nasihat untuk
Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya dan
untuk para pemimpin muslimin dan rakyatnya.
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Nabi
Shallalahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda, “Dien itu
nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin
dan masyarakatnya”.”
Maksud nasihat untuk
Allah adalah beriman kepada-Nya dan
mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak
layak untuk diri-Nya dan menaati-Nya. Nasihat untuk kitab-Nya
adalah membacanya dengan tilawah yang
sebaik-baiknya, mengamalkan hukumnya, dan mengimani
hal-hal yang bersifat mutasyabihat yang ada di
dalamnya. Nasihat untuk Rasul-Nya adalah beriman
kepadanya, beriltizam dengan sunnahnya, melaksanakan
perintahnya dan menjauhi larangannya. Nasihat untuk para
pemimpin muslimin adalah menasihatinya bila melakukan
kesalahan dan menaatinya secara makruf. Nasihat
untuk masyarakat muslim adalah mengupayakan
kemaslahatan untuk mereka dan menjauhkan madharat
dari mereka, memerintah mereka kepada yang makruf dan melarang mereka
dari kemungkaran.
Akan tetapi,
apa yang harus dilakukan apabila saudara kita itu tidak mau
menerima nasihat?
Ketika nasihat
dan peringatan itu tidak bermanfaat lagi dalam
mencegah kemungkaran yang terus dilakukannya,
atau kemaksiatan yang terus dia jalani, maka kewajiban
seorang muslim adalah kembali kepada hajr (menjauhi) karena
Allah sampai dia kembali kepada kebenaran
dan bersikap lurus. Jika dia tetap terus
melakukan kefasikannya, tetap cuek dengan penyimpangannya
dan sulit diharapkan kebaikannya, maka wajib untuk meng-hajr-nya
terus menerus. Dan hajr ini merupakan ikatan iman yang kuat.
Berikut ini
adalah nash-nash yang menetapkan keabsahan melakukan hajr:
Imam Ath Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Imam Ath Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:
أوثق
عرى الإيمان الموالاة في الله والمعاداة في الله والحب في الله والبغض في الله عز
وجل
“Ikatan iman
yang paling kuat adalah berwali karena
Allah dan memusuhi karena Allah.
Cinta karena Allah dan benci karena Allah.”
Imam Al Bukhari –
dalam bab tentang bolehnya hajr terhadap orang
yang melakukan maksiat – meriwayatkan, “Berkata Ka’ab ketika tertinggal dari Nabi Shallalahu ‘alaihi
wassalam dalam perang Tabuk, “Nabi Shallalahu ‘alaihi
wassalam melarang berbicara dengan kami dan beliau menyebut 50
malam.”
Sehingga bumi
terasa sempit bagi mereka padahal bumi itu luas dan jiwa
mereka juga merasa sempit namun tidak seorangpun yang bicara dengan mereka
atau mengucapkan salam kepada mereka atau menemani mereka sampai
Allah ta’ala menurunkan dalam kitab-Nya taubat untuk mereka.
Telah shahih
riwayat yang menetapkan bahwa Nabi Shallalahu ‘alaihi
wassalam menerapkan hajr kepada istri-istrinya selama
sebulan penuh sebagai sanksi dan pendidikan
buat mereka karena telah menyelisihi syariat.
5. Ukhuwah harus tegak di
atas sikap saling menolong dalam keadaan sempit dan lapang
Tidak akan
mungkin ukhuwah akan semacam itu kecuali bila
salah seorang dari mereka ikut merasakan
kegembiraan saudara-saudaranya jika mereka bergembira
dan bersedih jika mereka bersedih. Islam
menjadikan saling tolong menolong di antara kaum muslimin saat
sempit maupun lapang menjadi perkara yang mesti
dilakukan dan hak yang harus dipenuhi, bahkan
menjadi tuntutan dan kewajiban bagi mereka. Hal itu dikarenakan orang-orang
yang saling bersaudara karena Allah telah ber-mu’ahadah
untuk mengiltizami manhaj Islam, baik dalam perkataan
maupun perbuatan. Dengan tujuan melaksanakan syariat Allah secara global maupun
rinci, melaksanakan tuntutan-tuntutan dien ini secara menyeluruh
dan agar dapat sejalan dengan manhaj Allah dalam amal
dan perilakunya.
Sebagai misal,
sesungguhnya ketika Islam berkata,
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa..”
“Tidak beriman
salah seorang di antara kalian sampai dia
mencintai bagi saudaranya apa yang
dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Seorang muslim
adalah saudara muslim yang lain, dia tidak
menzaliminya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).
Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi
kebutuhannya dan barang siapa menghilangkan satu
kesulitan dari seorang muslim maka (dengan hal itu)
Allah akan menghilangkan satu kesulitan dari sekian kesulitan
pada hari kiamat dan barang siapa menutupi aib
seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada
hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Maka orang-orang
yang saling bersaudara karena Allah lebih layak
untuk masuk dalam khithab ini. Hal ini karena mereka
lebih tertuntut daripada yang lainnya dalam
menerapkan prinsip-prinsip syariat dan berpegang
teguh dengan aturan Islam. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment