Sesungguhnya segala puji itu milik Allah. Kami
memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya dan berlindung kepada Allah dari
kejahatan diri kami dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa diberi petunjuk
Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkan. Dan barang siapa disesatkan Allah
maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran :102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar”. (QS. Al Ahzab : 70-71)
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
(QS. An Nisa’ : 1)
Dan aku bersaksi bahwa tiada llah kecuali Allah
saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah dan memberi
nasehat kepada umat. Mudah- mudahan kesejahteraan dan keselamatan dicurahkan
Allah kepada junjungan kita Muhammad saw, kepada keluarganya serta
sahabat-sahabatnya,
Wa ba’du:
Berkata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah
(9/320): “Telah bercerita kepada kami ‘Ali, ia berkata telah berbicara kepada
kami Ibnu ‘Aliyah dari Humaid dari Anas, ia berkata: “Adalah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berada di tempat sebagian istrinya. Lalu salah satu
dari Ummul Mukminin mengirim piring yang berisi makanan, maka istri Nabi yang
sedang berada di rumahnya memukul tangan pelayan itu, sehingga jatuhlah piring
tersebut dan pecah. Kemudian Nabi memunguti pecahan piring dan makanan, sambil
mengatakan: ((غَارَتْ أُمُّكُمْ)) “Ibu kalian cemburu.” Lalu beliau menahan pelayan tersebut
sampai beliau menggantinya dengan piring milik istri yang beliau sedang di
rumahnya. Lalu beliau memberikan piring yang utuh kepada istri yang piringnya
pecah, dan menahan piring yang sudah pecah di rumah istri yang telah memecahkan
piring tersebut.”"
Kata اَلْغِيْرَةُ (cemburu) adalah pecahan dari kata تَغَيُّرُ القَلْبُ
(berubahnya hati/tidak suka) dan هَيْجَانُ الغَضَبُ (berkobarnya kemarahan), karena adanya
persekutuan (persaingan) dalam hal-hal yang dikhususkan. Dan yang paling
dahsyat adalah yang terjadi antara suami dan istri sebagaimana dalam Al-Fath
(9/320).
Dan cemburu itu ada dua macam: yang terpuji dan
yang tercela. Cemburu yang terpuji adalah cemburu yang tidak melewati batas
syari’at. Sedang cemburu yang tercela adalah cemburu yang melewati batas
syari’at. Maka jika kecemburuan itu melewati batas syari’at akan menjadi
tercela karena ia akan mendorong pelakunya untuk menuduh orang lain, terutama
tuduhan suami terhadap istrinya. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”
(Al-Hujurat: 12)
Dan di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِيَّكُمْ وَالظَّنَّ
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيْثِ))
“Jauhi oleh kalian prasangka karena
sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan.”
Demikian juga kecemburuan istri pada suaminya
adalah terpuji selama tidak melewati syari’at. Di antara ujian bagi istri
adalah hebatnya rasa cemburu jika suaminya hendak menikah lagi. Bahkan karena
dahsyatnya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sering menyeretnya
kepada perbuatan yang diharamkan Allah, misalnya dengan melakukan praktek sihir
agar suaminya benci kepada madunya. Padahal sihir itu adalah kekufuran, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman
itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di
negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu),
sebab itu janganlah kamu kafir.”
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu
apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami)
dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan
sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari
sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak member manfaat. Demi,
sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarkan (kitab
Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat
jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka
mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka
akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih
baik, kalau mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 102-103)
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan (5/393):
“Telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah, ia berkata telah
bercerita kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin Zaid Al-Madini dari
‘Abdul Ghaits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang
membinasakan.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa gerangan (yang
tujuh) itu?” Beliau menjawab: “(Yaitu) menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa
yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang haq, makan riba, makan
harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, menuduh wanita baik-baik yang
lengah lagi beriman (berbuat zina).”
Berkata Al-Hakim rahimahullah (4/217): “Telah
bercerita kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah Az-Zahid
Al-Ashbahani, ia berkata telah bercerita kepada kami ‘Ubaidillah bin Musa, ia
berkata telah bercerita kepada kami Israil dari Maisarah bin Habib dari
Al-Minhal bin Amir dari Qais bin As-Sakan Al-Asadi, ia berkata: “Masuklah
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ke tempat seorang wanita (salah satu
keluarganya) dan dia melihatnya memakai jimat dari al-hamrah. Lalu ‘Abdullah
bin Mas’ud memotongnya dengan keras dan mengatakan: “Sesungguhnya keluarga
‘Abdullah tidak butuh pada syirik. Dan mengatakan: ‘Termasuk perkara yang kami
jaga dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (adalah sabdanya):
((أَنَّ الرُّقَى وَالتَّمَاإِمَ
وَالتِّوَلَةَ مِنَ الشِرْكِ))
“Sesungguhnya mantera-mantera, dan tamaim/jimat
dan tiwalah1 adalah syirik.” Hadits ini hasan sebagaimana dalam Ash-Shahihul
Musnad (2/18).
Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan
kekufuran penyihir, bahwasanya diharamkan untuk melakukan apapun dari perbuatan
tukang sihir, dan seorang tukang sihir tidak mungkin belajar sihir kecuali
dengan perantaraan para setan. Kemudian mudharat (keburukan) dan manfaat
datangnya dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika
Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Yunus: 107)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan
kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu,
atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya?’ Katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Kepada-Nyalah bertawakkal
orang-orang yang berserah diri.”
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika
Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tipa-tiap
sesuatu.” (Al-An’am: 17)
Dan dalam ayat lainnya:
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia
berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja
yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya
sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Fathir: 2)
Jadi, mudharat dan manfaat adalah di tangan
Allah. Maka orang yang menggunakan sihir, jika dia berkeyakinan bahwa dia bisa
menimbulkan mudharat atau mendatangkan manfaat di samping Allah maka diakafir,
karena ia mendustakan Al-Qur’an. Dan jika tidak berkeyakinan seperti itu, akan
tetapi menggunakannya sebagai sebab, maka itu adalah suatu bentuk kesesatan,
karena yang boleh dijadikan sebab aalah perkara yang mubah. Dan jika engkau
melakukan hal itu berarti engkau telah mendahulukan kehidupan dunia di atas
kehidupan akhirat. Barangsiapa yang lebih menyukai kehidupan dunia di atas
kehidupan akhirat maka ia sesat dengan kesesatan yang nyata. Dan ia rugi dunia
serta akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).”
(An-Nazi’at: 37-39)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan Kami tambah keutungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki
keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
Oleh sebab itu waspada dan berhati-hatilah dari
kecelakaan besar ini, jangan sampai setan memperdayamu hanya karena ingin
mendapatkan kelezatan dunia dan kesenangan yang bakal sirna yang akhirnya kamu
terjerumus ke dalam kekufuran. Hanya Allah satu-satunya tempat berlindung.
Maka demi Allah wahai wanita, para hamba Allah,
suamimu tidak akan memberi manfaat bagimu dan hisablah dirimu sendiri sebelum
engkau dihisab. Dan tidak jarang hal itu mendorong sebagian wanita
berangan-angan seandainya poligami (beristri lebih dari satu) tidak pernah
disyari’atkan. Sedangkan yang lain, hal tersebut mungkin membuatnya benci
kepada syari’at karena dibolehkannya poligami (bagi pria). Adapula yang
barangkali mengharapkan suaminya mati saja, jika dia ingin beristri lagi. Dan
berapa banyak yang seperti ini!!
Sebagian wanita lainnya tidak dapat berbuat
apa-apa (tidak melakukan pertentangan ketika suaminya kawin lagi, -pent.), akan
tetapi lisannya selalu menyerang madunya dengan cacian, ghibah, dan namimah,
maka kepada Allah satu-satunya tempat bagi kita untuk minta pertolongan.
Adapun wanita yang beriman sikapnya terhadap
masalah ini adalah mengakui dan menyadari bahwa apa yang ada, dan terjadi di
alam ini adalah taqdir/ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan
yang pasti berlaku.” (Al-Ahzab: 38)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)
Betapapun kamu ditimpa suatu musibah di dunia
ini, tidak ada artinya kalau disbanding dengan keselamatan dienmu (imanmu),
hendaknya kamu banyak berdo’a. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu…’” (Ghaafir: 60)
Hendaknya kamu berusaha melawan perasaan yang
muncul di hatimu untuk menyusahkan madumu, padahal ia seorang wanita seperti
kamu juga maka untuk apa kamu engkau sampai pada perbuatan itu? Dan kalau kita
mau berpikir wahai para wanita, tentulah kita tidak akan menyibukkan diri kita
dengan hal itu. Padahal kecemburuan seperti ini juga muncul pada istri-istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilebihkan oleh Allah melalui
firman-Nya:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.” (Al-Ahzab: 32)
Sebagai contoh kecemburuan mereka adalah pada
hadits yang telah lalu. Juga dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah, ia berkata:
“Tidaklah aku cemburu pada seseorang dari
istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah,
padahal aku tidak pernah melihatnya sekalipun. Akan tetapi beliau sering sekali
menyebutnya, dan sering kali beliau menyembelih kambing kemudian memotongnya
sebagian dan diberikan kepada teman-teman Khadijah maka aku katakana:
‘Seolah-olah tidak ada di dunia ini kecuali Khadijah.’ Maka beliau jawab:
‘Sesungguhnya ia dahulu ada dan darinya aku mempunyai anak.’”
Berkata Al-Iman Bukhari rahimahullah (7/134):
“Dan berkata Isma’il bin Khalil, ia berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Ali
bin Musher dari Hisyam dari bapaknya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata:
“Halah binti Khuwailid -saudaranya Khadijah-
meminta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
mengenal minta izin (saudaranya) Khadijah, maka beliau gembira karena itu dan
mengatakan: ‘Ya Allah (ternyata) engkau Halah.’ Ia (‘Aisyah) berkata: ‘Maka aku
menjadi cemburu, lalu aku katakan: ‘Engkau tidak menyebut seorang tua dari
orang tua Quraisy yang merah kedua sudut mulutnya, sehingga Allah telah
menggantinya dengan yang lebih baik.”
Dan makna merah kedua sudut mulutnya adalah
kinayah dari ompong gigi-giginya, ini dikatakan oleh Al-Hafizh dan juga
An-Nawawi serta lainnya. Sedangkan perkataan ‘Aisyah pada hadits yang
sebelumnya: “Tidaklah aku cemburu…”, berkata Al-Hafizh (7/136): “Padanya
terdapat kepastian adanya sikap cemburu, dan itu bukan sesuatu yang diingkari
bila terjadi pada wanita-wanita yang mulia, lebih-lebih selain mereka.”
Berkata Al-Imam Bukhari (9/310): “Telah
bercerita kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata telah bercerita kepada kami ‘Abdul
Wahid bin Aiman, ia berkata telah berkata kepadaku Ibnu Abi Mulaikah dari
Al-Qasim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
hendak safar beliau mengundi di antara istri-istrinya kemudian undian itu jatuh
kepada ‘Aisyah dan Hafshah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila tiba
waktu malam beliau (biasa) berjalan bersama ‘Aisyah sambil berbincang-bincang,
maka berkatalah Hafshah: ‘Maukah kamu malam ini naik tungganganku dan aku
menaiki kendaraanmu, kamu melihat dan aku melihat (pemandangan yang berbeda
-ed)?’ ‘Aisyah berkata: ‘Tentu.’ Maka naiklah ia dan datanglah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ke onta ‘Aisyah yang di atasnya terdapat Hafshah, beliau
memberinya salam, kemudian berjalan sehingga sampai ke suatu tempat dan ‘Aisyah
kehilangan beliau. Ketika mereka turun, ‘Aisyah letakkan kedua kakinya di
antara al-idzkhir, dan berkata: ‘Wahai Rabbku, aku mampu (menahan sakit
disengat) kalajengking atau seekor ular, (tetapi) aku tidak mampu untuk
mengatakan sesuatupun kepada beliau (karena cemburu).’
Demikian pula cemburu yang dijumpai pada wanita
selain mereka dari kalangan shahabat yang mempunyai keutamaan. Berkata Al-Imam
An-Nasai (6/69): “Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata
telah bercerita kepada kami An-Nadhr, ia berkata telah bercerita kepada kami
Hammad bin Salamah dari Ishaq bin ‘Abdullah dari Anas mereka mengatakan:
يا رسول الله ألا تتزوَّج من نساء الأنصار.:إِنَّ
فِيهِمْ لَغَيْرَةً شَدِيدَةً
“Wahai Rasulullah tidakkah engkau menikahi
wanita Anshar?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya pada mereka ada kecemburuan yang
sangat besar.” Hadits ini shahih.
Sedangkan terjadinya kecemburuan pada kita
sangat lebih memungkinkan, maka yang wajib (bagi kita) adalah bersabar. Bahkan
termasuk buah keimanan terhadap taqdir adalah sikap sabar sebagaimana dikatakan
oleh Ayahanda dan syaikh (guru)-ku dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih fil
Qadar. Dan perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla semuanya mengandung hikmah, sedangkan
hikmah itu kadang nampak dan terkadang tidak nampak.
Di antara hikmah beristri lebih dari satu
(poligami):
1. Dengan banyaknya istri akan memperbanyak keturunan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((تَنَاكَحُوا تَنَاسَلُوا؛
فَإِنِّي مُبَاةٍ بِكُمُ الأُمَمَ))
“Menikahlah kalian dan buatlah keturunan karena
aku berbangga dengan kalian di depan umat-umat yang lain.”
2. Terkadang wanita itu ada yang mandul tidak
bisa beranak, maka manakah yang lebih utama? Apakah mencerainya atau tetap
bersamanya menikah lagi, manakah yang lebih utama? Membiarkan suami tanpa
keturunan atau dia menikah lagi? Jawabnya, yang lebih utama adalah tetap
bersamanya dan membiarkannya menikah lagi.
3. Wanita pada saat nifas dan haidnya
seringkali suami tidak bisa sabar menahan sehingga akan menyeretnya pada
sesuatu yang haram, dan jalan keluar dari masalah ini adalah dengan suami
menikah lagi.
4. Kadang pada wanita ada beberapa aib
(kekurangan) maka yang lebih utama adalah suami menikah lagi dan tidak
menceraikannya.
5. Bisa jadi wanita seringkali sakit, maka yang
lebih utama adalah suami menikah lagi dan tidak menceraikannya, atau mungkin ia
sabar atas istrinya akan tetapi dia tidak kasihan terhadap dirinya.
6. Banyaknya istri (poligami) akan mempererat
hubungan beberapa keluarga. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah (pula) yang menciptakan manusia dari
air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah2 dan adalah
Rabbmu Maha Kuasa.” (Al-Furqan: 54)
7. Seorang wanita itu harus ada orang yang
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya berupa nafkah dan lainnya, maka dengan poligami
seorang suami yang akan melaksanakan hal itu. Dan ilmunya berada di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Wallohu ta’ala a’lam bish-shawab
Sumber: Ashabulkahfi
No comments:
Post a Comment