Ketika itu Rasulullah saw. sedang susah karena
tindakan kaum Qurasy yang menyakiti beliau dan para sahabat. Kesulitan dan
kesusahan berdakwah menyebabkan beliau senantiasa harus bersabar. Dalam suasana
seperti itu, tiba-tiba seberkas cahaya memancar memberikan hiburan yang
menggembirakan. Seorang pembawa berita mengabarkan kepada beliau, “Ummu Aiman
melahirkan seorang bayi laki-laki.” Wajah Rasulullah berseri-seri karena
gembira menyambut berita tersebut.
Siapakah bayi itu? Sehingga, kelahirannya dapat
mengobati hati Rasulullah yang sedang duka, berubah menjadi gembira ? Itulah
dia, Usamah bin Zaid.
Orang Tua Usamah
Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah
bersuka-cita dengan kelahiran bayi yang baru itu. Karena, mereka mengetahui
kedudukan kedua orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang
wanita Habsyi yang diberkati, terkenal dengan panggilan “Ummu Aiman”.
Sesungguhnya Ummu Aiman adalah bekas sahaya ibunda Rasulullah Aminah binti
Wahab. Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih
hidup. Dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu, dalam
kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibunda yang mulia, selain
Ummu Aiman
Rasulullah menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana
layaknya sayangnya seroang anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu
Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan
satu-satunya keluargaku yang masih ada.” Itulah ibu bayi yang beruntung ini.
Adapun bapaknya adalah kesayangan ) Rasulullah,
Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya
sebelum ia memeluk Islam. Dia menjadi sahabat beliau dan tempat mempercayakan
segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga
beliau dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.
Kegembiraan Kaum Muslimin dan Sayangnya
Rasulullah SAW kepada Usamah
Kaum muslimin turut bergembira dengan kelahiran
Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya.
Hal itu bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah juga
mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi yang
sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (kesayangan anak
kesayangan).
Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil
Usamah yang masih bayi itu dengap panggilan tersebut. Karena, Rasulullah memang
sangat menyayangi Usamah sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati. Usamah
sebaya dengan cucu Rasulullah, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan berkulit putih
tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya,
Rasulullah saw. Usamah kulitnya hitam, hidungnya pesek, sangat mirip dengan
ibunya wanita Habsyi. Namun, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda.
Beliau sering mengambil Usamah, lalu meletakkan di salah satu pahanya.
Kemudian, diambilnya pula Hasan, dan diletakkannya di paha yang satunya lagi.
Kemudian, kedua anak itu dirangkul bersama-sama ke dadanya, seraya berkata,
“Wahai Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada
suatu kali Usamah tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah.
Rasulullah menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, tetapi tidak
mampu melakukannya. Karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau
isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu, beliau bujuk
Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hatinya merasa tenteram
kembali.
Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu
kecil, tatkala sudah besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam,
seorang pemimpin Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah.
Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari
Yazan, seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari Hakam,
sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli oleh beliau dan
hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan
kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah
para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.
Sejak Usamah meningkat remaja, sifat-sifat dan
pekerti yang mulia sudah kelihatan pada dirinya, yang memang pantas
menjadikannya sebagai kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana
dan pandai, takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan
tercela.
Dikisahkan bahwasanya pada suatu hari,
terjadilah pencurian dimana pelakunya adalah seorang wanita ternama dari bangsa
Quraisy, maka kaum Quraisy pun terlena, apa yang semestinya diputuskan terhadap
wanita tersebut sedangkan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan, kemudian
mereka ingin menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW namun ketidak beranian
yang mereka miliki membuat mereka mundur langkah dan maju langkah. hingga
terbesitlah dihati salah satu diantara mereka bahwasanya orang yang paling
berani untuk menanyakan hal ini adalah Usama, karena dia adalah orang yang
paling dekat dan paling dikasihi oleh rasulullah saw.
dengan segera mereka menemuinya dan memintanya
agar meminta keringanan kepada rasulullah saw terhadap wanita terseut. ketika
Usama menceritakan hal ini kepada rasulullah saw, maka rasulullah bersabda:
Janganlah engkau meminta keringanan dalam
masalah hukum agama, sesungguhnya bangsa-bangsa terdahulu binasa karena hal
itu, bila diantara mereka orang bangsawan mencuri maka mereka mengampuninya dan
bila orang miskin yang mencuri maka ditegakkan hukum sebaik-baiknya dan
sesungguhnya bila Fatimah Binti Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong
tangannya.
Usamah Dalam Perang Uhud
Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid
datang ke hadapan Rasulullah saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya,
putra-putra para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian
mereka diterima Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih
sangat muda. Usamah bin Zaid teramasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima.
Karena itu, Usama pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak
diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.
Usamah Dalam Perang Khandaq
Dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang
pula bersama kawan-kawan remaja, putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di
hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya
turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut
berperang. Karena itu, beliau mengizinkannya, Usamah pergi berperang menyandang
pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.
Usamah Dalam Perang Hunain
Ketika terjadi Perang Hunain, tentara muslimin
terdesak sehingga barisannya menjadi kacau balau. Tetapi, Usamah bin Zaid tetap
bertahan bersama-sama denga ‘Abbas (paman Rasulullah), Sufyan bin Harits (anak
paman Usamah), dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengah
kelompok kecil ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya
menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelematkan kaum muslimin yang lari dari
kejaran kaum musyrikin.
Usamah Dalam Perang Mu’tah
Dalam Perang Mu’tah, Usamah turut berperang di
bawah komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan
belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya
tewas di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi, Usamah tidak takut dan tidak
pula mundur. Bahkan, dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far
bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula. Usamah menyerbu di
bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur pula menyusul kedua
sahabatnya yang telah syahid. Kemudian, komando dipegang oleh Khalid bin Walid.
Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal
sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.
Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah
dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya
ditinggalkan di bumi Syam (Syria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum.
Pengangkatan Usamah dalam Perang Melawan Romawi
Ketika Islam berjaya pada masa Rasulullah di
Arab. Dengan suka rela, setiap insan yang mendengar seruan kalimat laa ilaha
illallalah Muhammadur Rasulullah berbondong-bondong menyambutnya. Wajah-wajah
kusut yang semula diselimuti kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari pancaran
cahaya Ilahi. Tidak ketinggalan juga Farwah bin Umar Al-Judzami, kepala daerah
Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar Romawi. Mengetahui hal itu, para
penguasa Romawi marah dan mereka segera menangkap Farwah dan menjebloskannya ke
penjara. Selanjutnya, ia dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di
sebuah mata air bernama Arfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk
menakut-nakuti para penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.
Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan
kemampuan Usamah itu, Umar bin Khatthab segera menemui Rasulullah. Beliau
sangat marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat
yang tengah berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah memuji Allah dan mengucapkan
syukur, beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia, saya mendengar
pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah, demi Allah, seandainya kalian
menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan
ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang
kepemimpinan, begitu juga dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat saya
kasihi, maka putranya pun demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah
kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik manusia di
antara kalian.”
Pada tahun kesebelas hijriah Rasulullah
menurunkan perintah agar menyiapkan bala tentara untuk memerangi pasukan Rum.
Dalam pasukan itu terdapat antara lain Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab,
Sa’ad bin ABi Waqqas, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lain sahabat yang
tua-tua.
Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda
remaja menjadi panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu
usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya
berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan
Rum.
Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk
ke rumahnya. Kaum muslimin pun beradatangan hendak berangkat bersama pasukan
Usamah. Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Diantara
mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah. “Wahai Rasulullah bukankah lebih baik,
jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya sampai engkau
merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia tidak akan merasa
tenang dalam perjalanannya,” ujarnya. Namun Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
Sallam menjawab, ‘Biarkan Usamah berangkat sekarang juga.”
Kata Usamah, “Tatkala sakit Rasulullah
bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak, setelah
saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata karena kerasnya
sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh
saya. Saya tahu beliau memanggilku.”
Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak
mengatakan apa-apa selain mengangkat kedua belah tanganya ke langit serta
mengusap kepala Usamah, mendoakannya.
Sikap Khalifah Abu Bakar atas Adanya Usulan
Penggantian Usamah
Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih
menunggu. Setelah semuanya lengkap, mereka mulai bergerak. Belum jauh pasukan
itu meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu
Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat.
Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin Khatthab dan Abu
Ubaidah bin Jarraf, ia segera menuju rumah Rasulullah. Sementara itu, tentara
kaum muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan pemberangkatan dan kembali
juga ke madinah.
Abu Bakar Shidiq terpilih dan dilantik menjadi
khalifah. Khalifah Abu Bakar meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan
Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah.
Tetapi, sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan
pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah Abu
Bakar. Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin pasukan,
sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya. Tindakan Khalifah tentu
saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat itu beberapa kelompok
kaum muslimin murtad dari agama Islam. Kota Madinah memerlukan penjagaan ketat.
Kata mereka, “Jika khalifah tetap berkeras
hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami
mengusulkan panglima pasukan (Usamah) yang masih muda remaja ditukar dengan
tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”
Mendengar ucapan Umar yang menyampaikan usul
dari kaum Anshar itu, Abu Bakar bangun menghampiri Umar seraya berkata dengan
marah, “Hai putra Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu.
Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah, tidak ada
cara begitu!”
Abu Bakar juga berkata, “Demi jiwaku yang
berada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun,
niscaya aku akan tetap mengutus pasukan ini ketujuannya. Aku yakin, mereka akan
kembali dengan selamat. Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang
diberikan wahyu dari langit telah bersabda, “Berangkatkan segera pasukan
Usamah!’
Tatkala Umar kembali kepada orang banyak,
mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan khalifah tentang
usulnya. Kata Umar, “Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, beliau
menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan sok berani membatalkan
keputusan Rasulullah.
Maka, pasukan tentara muslimin berangkat di
bawah pimpinan panglima yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu
Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki, sedangkan Usamah menunggang
kendaraan.
Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah!
Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun!
Demi Allah! saya tidak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor,
sementara mengantar engkau berjuang fisabilillah! Saya titipkan engkau, agama
engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat
kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”
Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban
yang penuh makna, “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga
penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan Rasulullah.”
Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat
kepada Usamah. Katanya, “Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya.
Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.
Kemenangan Usamah
Usamah dan pasukannya terus bergerak dengan
cepat meninggalkan Madinah. Setelah melewati beberapa daearah yang masih tetap
memeluk Islam, akhirnya mereka tiba di Wadilqura. Usamah mengutus seorang
mata-mata dari suku Hani Adzrah bernama Huraits. Ia maju meninggalkan pasukan
hingga tiba di Ubna, tempat yang mereka tuju. Setelah berhasil mendapatkan
berita tentang keadaan daerah itu, dengan cepat ia kembali menemui Usamah.
Huraits menyampaikan informasi bahwa penduduk Ubna belum mengetahui kedatangan
mereka dan tidak bersiap-siap. Ia mengusulkan agar pasukan secepatnya bergerak
untuk melancarkan serangan sebelum mereka mempersiapkan diri. Usamah setuju.
Dengan cepat mereka bergerak. Seperti yang direncanakan, pasukan Usamah
berhasil mengalahkan lawannya. Hanya selama empat puluh hari, kemudian mereka
kembali ke Madinah dengan sejumlah harta rampasan perang yang besar, dan tanpa
jatuh korban seorang pun.
Usamah berhasil kembali dari medan perang
dengan kemenangan gemilang. Mereka membawa harta rampasan yang banyak, melebihi
perkiraan yang diduga orang. Sehingga, orang mengatakan, “Belum pernah terjadi
suatu pasukan bertempur kembali dari medan tempur dengan selamat dan utuh dan
berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan Usamah bin Zaid.”
Kecintaan Kaum Muslimin Kepada Usamah
Usamah bin Zaid sepanjang hidupnya berada di
tempat terhormat dan dicintai kaum muslimin. Karena, dia senantiasa mengikuti
sunah Rasulullah dengan sempurna dan memuliakan pribadi Rasul.
Khalifah Umar bin Khattab pernah diprotes oleh
putranya, Abdullah bin Umar, karena melebihkan jatah Usamah dari jatah Abdullah
sebagai putra Khalifah. Kata Abdullah bin Umar, “Wahai Bapak! Bapak menjatahkan
untuk Usamah empat ribu dinar, sedangkan kepada saya hanya tiga ribu dinar.
Padahal, jasa bapaknya agaknya tidak akan lebih banyak daripada jasa Bapak
sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada keistimewaannya daripada
saya. Jawab Khalifah Umar, “Wah?! jauh sekali?! Bapaknya lebih disayangi
Rasulullah daripada bapak kamu. Dan, pribadi Usamah lebih disayangi Rasulullah
daripada dirimu.” Mendengar keterangan ayahnya, Abdullah bin Umar rela jatah
Usamah lebih banyak daripada jatah yang diterimanya.
Apabila bertemu dengan Usamah, Umar menyapa
dengan ucapan, “Marhaban bi amiri!” (Selamat, wahai komandanku?!). Jika ada
orang yang heran dengan sapaan tersebut, Umar menjelaskan, “Rasulullah pernah
mengangkat Usamah menjadi komandan saya.”
Setelah menjalani hidupnya bersama para
sahabat, Usamah bin Zaid wafat tahun 53 H / 673 M pada masa pemerintahan
khalifah Mu’awiyah.
Itulah cuplikan dari kisah seorang pemuda yang
berani dalam membela agama Allah tanpa mempedulikan sesuatu yang mengancam jiwanya,
dari sinilah kita sebagai pemuda penerus bangsa dan agama alangkah patutlah
meniru sosok seorang sahabat yang pemberani Usamah bin Zaid.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya
kepada para sahabat yang memiliki jiwa dan kepribadian agung seperti mereka
ini. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment