Islam telah lama mengenal istilah TABBANI, yang
di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan
mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai
anaknya.
TABBANI secara harfiah diartikan sebagai
seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak
kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah
pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.
ADOPSI dinilai sebagai perbuatan yang pantas
dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum
dikaruniai anak.
Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang
lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim
piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan
anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini.
Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan anak angkat
adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada
orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Fatwa MUI Pada salah satu butir
pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab)
yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
Ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai
si-anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab,
hal ini bertentangan dengan syariat Islam.
Banyak dalil yang mendasarinya. Beliau tetap
mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya dan
tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad.
Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu
sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris.
Seperti surat al-Ahzab ayat 4-5, "Dan, dia tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai ana kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar.”
Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan
memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah.
“Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula-maula (hamba sahaya
yang di merdekakan)."
Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan, "Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantaramu, tetapi ia
adalah Rasulullah dan penutub nabi-nabi”.
Dan Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar
Rasulullah bersabda, "Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri)
kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya,
melainkan ia telah kufur." (HR Bukhari dan Muslim.)
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barang siapa mengaku orang lain sebagai
bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga
diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh
mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191)
Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment